Pujangga Persuratan

untuk Aidil Khalid

Charles Dickens dan dua orang anak perempuannya. Gambar ini menarik kerana ia menunjukkan aura dan karisma Dickens sebagai pencerita; dan kita dapat juga melihat kedua-dua kaki pendeknya serta senyuman manis seorang lelaki tua yang tidak pernah menjadi dewasa

"There are two sorts of artist, one not being in the least superior to the other. One responds to the history of his art so far; the other responds to life itself." (Saul Steinberg)


Sastera mempunyai ramai pujangga persuratan: Charles Dickens (20 buah novel, 4 kumpulan cerpen, drama, artikel, dan puisi); Balzac (hampir 100 buah novel, cerpen, dan drama); Dostoyevsky (15 buah novel); D. H. Lawrence (13 buah novel, 9 buah kumpulan cerpen, drama, catatan pengembaraan, puisi, dan buku kritikan). Dan itu baru yang klasik. Kita belum seneraikan penulis moden: Iris Murdoch, Nabokov, Saul Bellow, Thomas Mann, John Updike, Philip Roth, Joyce Carol Oates. Kita selalu dengar orang kata kekuatan seorang seniman bukan diukur berdasarkan jumlah karyanya; tetapi kadang-kadang keprolifikkan seorang pengarang bukan tanda kelemahan atau ketidaksabarannya menulis: saya lebih suka memandangnya sebagai tanda keghairahan; sebagai tanda cinta mendalam pada sastera; sebagai tanda keluasan imaginasi; sebagai tanda kelenturan bahasa; sebagai tanda usia kepengarangan yang panjang.

Tanda terkahir itu ialah kegemaran saya sebagai pembaca. Saya selalu mencarinya. Terutama sekali apabila saya sudah melekat atau tertangkap dalam pelukan seorang pengarang: dan ini selalunya akan bermula dengan sebuah buku atau beberapa buah buku: dari bacaan pertama lagi sudah ada kualiti atau rona bahasa dan emosi yang menggoda minat kita: ia seolah-olah ada angin yang telah datang untuk merungkaikan ikatan langsir di jendela pemikiran kita, dan kita terpaksa berlari keluar untuk mengejarnya: dan sebaik saja ia ditemui, kita tidak ingin meninggalkannya: kita akan mencari pintu atau pohon atau lautan atau hutan lain yang tersembunyi dalam dunia ciptaan pengarang tersebut: dan selepas kita sudah keluar daripada dunia itu, nafsu kita barangkali belum dijinakkan: lalu kita pergi ke tempat lain: kita mencari penulis lain yang pernah membacanya atau pernah mengkritiknya atau pernah mencipta biografi untuknya atau pernah menjadi salah seorang muridnya secara tidak sedar: dan semua ini berlaku - seperti usia kita - secara semula jadi kerana pengarang tersebut telah menjadi sebahagian daripada diri kita. Atau dalam kata lain: kita membesar bersamanya.

Dan mungkin kita akan menjadi tua bersamanya seperti Cynthia Ozick menceritakan pengalaman membesar bersama karya John Updike:

"John Updike: the name is graven. It stands, by now, alongside Cather, Faulkner, Fitzgerald, those older masters who lay claim to territory previously untrafficked, and who make of it common American ground. So enduringly stamped and ineradicably renowned is Updike, that it was more tribute than gaucherie when, only the other day, someone (a demographer, as it happens, with wider views of the shiftings of lives) asked, "Is he still alive?" The very question canonizes  - and for readers of Updike's generation, it instructs even it as it startles. We have grown old in the company of this always new-leaved evergreen writer."

Ozick kemudian meneruskan dengan menggambarkan gaya penulisan Updike:

"Updike is a potent stylist, but of a particular kind - less psychological (though he is psychological too), less analytical (though he is frequently that), than visual and painterly. His effects are of sheen and shadow, color and form, spine and splay, hair and haunch."

Perbandingan barangkali boleh dibuat dengan cara Henry James menggambarkan penulisan Balzac:

"Like all persons who have looked a great deal at human life, he had been greatly struck with most people's selfishness, and this quality seemed to him the most general in mankind... His imagination was so fertile, the movement of his mind so constant, his curiosity and ingenuity so unlimited, the energy of his phrase so striking, he raises such a cloud of dust about him as he goes, that the reader to whom he is new has a sense of his opening up gulfs and vistas of thought and pouring forth flashes and volleys of wisdom. But from the moment he ceases to be a simple dramatist Balzac is an arrant charlatan. It is probable that no equally vigorous mind was ever at pains to concoct such elaborate messes of folly. They spread themselves over page after page, in a close, dense verbal tissue, which the reader scans in vain for some little flower of available truth. It all rings false - it is all mere flatulent pretension. It may be said that from the moment he attempts to deal with an abstraction the presumption is always dead against him... The chief point is that he himself was his most perfect dupe; he believed in his own magnificent rubbish, and if he made it up, as the phrase is, as he went along, his credulity kept pace with his invention. This was, briefly speaking, because he was morally and intellectually superficial. He paid himself, as the French say, with shallower conceits than ever before passed muster with a strong man. The moral, the intellectual atmosphere of his genius is extraordinarily gross and turbid; it is no wonder that the flower of truth does not bloom in it, nor any natural flower whatever. The difference in this respect between Balzac and other great novelists is extremely striking. When we approach Thackeray, and George Eliot, George Sand and Turgenieff, it is into the conscience and the mind that we enter, and we think of these writers primarily as great consciences and great minds. When we approach Balzac we seem to enter into a a great temperament - a prodigious nature. He strikes us half the time as an extraordinary phenomenon. His robust imagination seems a sort of psychical faculty and impresses us more with its sensible mass and quantity than with its lightness or fineness."

Membaca ini kita tidak dapat elak daripada merasakan ia adalah perbadingan sesuai antara Balzac dan Flaubert. Dan sudah tentu antara Balzac dan Henry James sendiri. Kalau penulisan itu ialah perlawanan tinju, maka untuk Balzac, kemenangan akhir itu yang penting; dan demi kemenangan, dia tidak kisah tubuhnya dibelasah, dia tidak kisah memberikan persembahan hambar kepada penonton, dia tidak kisah untuk melengahkan perlawanan hingga pusingan terakhir; asalkan dia menang. Dan dia memang menang - rasanya tidak ada pembaca sekarang yang sanggup merempuh semua buku Balzac; tetapi dengan masuk ke dalam beberapa karya terbaiknya, kita sudah dapat pukulan KO imaginasinya. Dengan Henry James - seorang lagi pujangga persuratan - strategi perlawanannya sudah tentu berbeza: ia boleh dilengahkan, tapi setiap pusingan mesti cantik; kecederaan ekstrem harus dielakkan sebaik mungkin; biar penonton rasa sedikit hambar, tapi yang lebih penting ialah mereka terpesona dengan kelincahannya menari dan melepaskan tumbukkan di atas pentas. 

Saya selalu melihat zaman abad kesembilan belas - zaman keemasan novel - sebagai zaman kemuncak penulis dilahirkan daripada alam. Maksudnya, ini ialah zaman masyarakat yang membentuk seniman, dan bukan seniman yang membentuk masyarakat. Hugo, Balzac, dan Zola adalah antara contoh terbaik. Ini ialah era agung novel berbentuk realisme sosial. Dan walaupun Jeanette Winterson pernah mempertahankan Charles Dickens sebagai novelis yang berada di luar tradisi sastera zamannya, saya masih merasakan Dickens lebih banyak dibentuk oleh masyarakatnya, berbanding sastera, seperti mana sastera lebih banyak membentuk Flaubert dan James. Era ini berakhir dengan kebangkitan sastera moden di abad kedua puluh. Penulis mulai lahir dari dalam rahim sastera itu sendiri, berbanding daripada kilang percetakan buku atau dari dalam laci meja bangunan parlimen atau dari dalam timba susu sebuah ladang di desa.       

Tradisi sastera dari dahulu akan terus berjalan dan dalam perjalanannya, ia akan terus meninggalkan sejumlah buku di muka pintu setiap zaman. Sekarang pun jumlah itu sudah sangat banyak dan penulis baharu yang masuk ke dalam sastera akan merasakan ia sedang masuk ke sebuah dunia lain yang lengkap dengan peraturan alamnya sendiri. Cuba bayangkan seratus tahun akan datang: berapa banyak buku yang sastera akan tinggalkan di muka pintu kita? Berapa banyak pujangga sastera yang akan lahir? Dan berapa banyak buku atau penulis yang harus diterokai, sebelum seseorang itu dapat menatap wajah sempurna dunia sastera itu?

Ke depan, dengan hanya mencintai sastera, seorang penulis itu akan diciptakan. Dan mereka yang masih percaya bahawa sastera adalah untuk masyarakat, dan masyarakatlah yang membentuk sasterawan, akan kekal sebagai dinosaur dalam kaca sebuah muzium.




Comments

Popular Posts