Perempuan-Perempuan (Aidil Khalid)


Perempuan-Perempuan

(yang pernah menyukaiku)

Dengan sebatang pensel

Dia lukis sebilah parang.


Larik-larik lakarnya

jelas menunjukkan

parang itu amat tajam.


Dengan sebilah parang tajam

dia cincang habis tubuhku

sampai hancur

sampai lumat.


Cuma ditinggalkan

- tak tersentuh –

adalah seketul hatiku.


(dia belum tahu

melukis gambar hati)



Puisi itu sesuatu yang indah dibaca. Kadang-kadang bentuk fizikalnya sudah cukup untuk memikat selera pembacaan seolah-olah titik-titik hitam di atas kertas yang kita lihat itu ialah serpihan kecantikkan seorang wanita, yang dijalinkan oleh penyair menjadi kekasihnya. Tetapi kita jarang sekali mendapat keindahan yang seideal ini. Penyair ialah haiwan seks bercelana bahasa. Ada waktu nafsu puisinya, yang lelaki terutama sekali, menjadi agak buas sehingga seluruh dunia ini ingin ditelannya.

Berbanding novel dan cerpen, puisi itu berada agak jauh dari masyarakat. Ia lebih dekat dengan alam. Ia seperti gadis desa dengan rambut lebat panjang yang duduk berkemban di tepi sungai menikmati bisikkan burung dan waktu. Penyair lelaki menulis puisi untuk mencari gadis ini. Kalau Muhammad Haji Salleh, dia datang menawarkan sejambak bunga, tapi apabila dihidu kelopaknya ia berbau seperti lembaran-lembaran kertas sebuah kitab. Kalau Latiff, dia datang sebagai doktor, dia ingin memeriksa jika masih ada luka di tangan gadis itu dan jika masih ada matahari terbenam lemas di dasarnya. Kalau Aidil Khalid... nampaknya, dalam sajak ini, datang membawa parang.

Apabila kita membaca bait pertama sajak ini, kita merasakan yang kehadiran kita dialu-alukan oleh penyair. Dua baris awalnya mudah dibaca dan kita bisa "tangkap terus dalam kepala imejannya" (percubaan saya meminjam kata-kata kegemaran Aidil Khalid apabila membicarakan sajak yang kuat imejan). Perjalanan seterusnya dari baris ke baris bergerak dengan mudah dan lincin. Tidak ada emosi yang berlebihan. Tidak ada senjata puisi yang terlalu banyak. Gaya ucap Aidil itu memang selalunya bersifat sederhana. Walaupun dia datang kepada pembaca dalam sajak ini dengan parang, tapi dia bukanlah Sutardji yang ingin memenggal gaya ucap yang lama. Dia lebih suka menjadi penyair yang minimalis. Dan pembaca umum memang menyenangi penyair yang sebegini.

Sajak-sajak minimalis Aidil itu saya kira semacam reaksi kepada puisi bunga-berbau-kitab-lama yang tumbuh dengan liar dalam akhbar dan majalah kita. Aidil ingin membawa pembacanya kembali kepada hal-hal yang remeh yang mungkin di mata editor tidak cukup "puitis" untuk diterbitkan. Dan bukankah alam itu sendiri remeh sifatnya? Pokok bisa sahaja ditebang dan digantikan dengan perpustakaan keilmuwan atau kafe keilmuwan. Begitulah pandangan hidup sesetengah penyair kita. Adakah Aidil salah seorangnya? Kalau berdasarkan sajak-sajaknya, termasuk yang ini, saya bayangkan Aidil itu di depan gadis desa dengan sebelah tangan mengusap pipi dan rambutnya, sementara sebelah tangan lagi disimpan di belakang, menggenggam sebilah parang yang tajam.



Comments

Anonymous said…
Gemarnya saya membaca setiap puisi yang dibedah tuan.

Semoga diteruskan usaha ini dalam menyampaikan maksud tersirat bait-bait puisi melayu pada khalayak ramai.

Popular Posts